PPh Final Bakal Pacu Transaksi Perdagangan Berjangka Komoditas

 

Bisnis.com, JAKARTA - Kepastian nilai sekaligus penurunan Pajak Penghasilan (PPh) final diperkirakan bakal memacu peningkatan volume transaksi Perdagangan Berjangka Komoditas (PBK) di tanah air.

 

Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan Bachrul Chairi menyampaikan penurunan nilai pajak bisa menjadi pemicu yang ampuh untuk menarik minat calon investor. Calon nasabah juga mendapatkan kepastian karena PPh nantinya bersifat final.

 

Saat ini Kementerian Keuangan sudah memberikan pilihan besaran PPh yang nantinya berlaku kepada Bappebti. Bachrul mengakui pihaknya kini masih mempertimbangkan posisi nilai yang akan diambil.

 

"Bolanya sekarang sudah ada di Bappebti. Tinggal kita masih mempertimbangkan besarannya. Sebaiknya jangan di-publish dulu [besaran PPh] karena masih sementara, nanti membingungkan pelaku usaha," paparnya kepada Bisnis di sela acara peresmian Future Trading Learning Center (FTLC) di Universitas Kristen Indonesia, Kamis, 18 Mei 2017.

 

Sebagai informasi, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) no.17/2009 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Transaksi Derivatif Berupa Kontrak Berjangka yang Diperdagangkan di Bursa, pasal 2, besaran pengenaan PPh adalah 2,5 persen. Angka ini lebih besar dari tarif pemungutan PPh final di Bursa Efek Indonesia (BEI) senilai 0,1 persen.

 

Menurut Bachrul, Bappebti masih membicarakan dengan pelaku usaha terkait besaran PPh final, sekaligus menyesuaikannnya dengan situasi perkembangan industri PBK terkini.

 

Direktur Utama Jakarta Future Exchange (JFX) Stephanus Paulus Lumintang menyampaikan PPh yang saat ini dikenakan terhadap investor cukup memberatkan. Oleh karena itu, dengan nilai pajak yang lebih rendah diharapkan dapat meningkatkan volume transaksi PBK, khususnya kontrak multilateral.

 

"PPh yang sekarang memberatkan investor. Kita sendiri sudah mengusulkan nilai PPh final nantinya sebesar 0,1 persen untuk transaksi multilateral dan bilateral," ujarnya.

 

Menurutnya, perbedaan antara PPh lama dan baru nantinya selain besaran nilai pajak ialah mengenai kondisi pengenaan. Investor akan dikenakan PPh setelah melakukan likuidasi yang menguntungkan, sedangkan bila mengalami kerugian tidak dibebani pajak.

 

Sementara bila PPh final berlaku, investor akan dikenakan pajak setelah melakukan transaksi yang bersifat profit ataupun loss. Namun, dengan besaran pungutan yang lebih rendah tentunya kian meningkatkan selera nasabah untuk berinvestasi.

 

Paulus berpendapat bila ingin memacu transaksi PBK idealnya pengenaan PPh ditiadakan atau diberlakukan 0 persen dahulu. Setelah volume meningkat signifikan, dalam 2-3 tahun ke depan baru investor diwajibkan membayar pajak.

 

Kondisi tersebut mengacu kepada bursa berjangka di Singapura dan Malaysia yang memberlakukan pajak 0 persen. Alhasil banyak investor mancanegara, termasuk dari Indonesia, yang berinvestasi di sana.

 

"Setahu saya di Singapura dan Malaysia [bursa berjangka] tidak kena pajak, makanya transaksi bisa ramai. Bahkan di Malaysia investor terbesar berasal dari Indonesia," paparnya.

 

Menurutnya, kondisi investasi di Malaysia dan Singapura merupakan komparasi yang ideal dengan Indonesia karena cenderung serupa. Artinya, para pemangku kepentingan bisa melakukan perbandingan dengan kedua negara jiran tersebut dalam membuat sebuah peraturan.

 

 

 

Hafiyyan

KAMIS, 18 MEI 2017 | 23:03 WIB